Oleh: Swary Utami Dewi

(Pegiat CakNurian Urban Sufism, Board Kawal Borneo)

nusakini.com - Jelang dua tahun pandemi. Beragam hal dirasakan, bermacam peristiwa dialami, berbagai pemaknaan ditemui. Ada yang mengalami dan memaknai pandemi dengan kesedihan, keterpurukan, kebingungan, musibah, petaka, kegelisahan. Ada pula yang -- meski kehilangan keluarga, sahabat, pekerjaan dan rutinitas -- namun menemukan hal lain yang bermakna. Ada juga yang tetap bisa menjalani apapun yang dialami dengan pemaknaan yang sama. Masa pandemi memang bisa membawa kita pada sesuatu yang tragis dan menyedihkan. Bisa juga bentuknya menyenangkan, memberikan kejutan manis dan menguatkan.

Patut dipahami bahwa apapun yang dialami, apapun yang dirasakan, apapun yang dimaknai tentu saja tidak bisa disamaratakan. Sifatnya bisa jadi sangat personal. Dan semua itu sah-sah saja karena setiap orang bisa jadi memiliki perjumpaan dan pengalaman yang berbeda tentang pandemi.

Beberapa sahabat Caknurian Urban Sufism With Komaruddin Hidayat juga memiliki pengalaman dan pemaknaan yang unik dan tersendiri di masa pandemi ini. Ini tergambar pada webinar santai, pada Jumat, 21 Maret 2021. Pandemi bisa jadi merupakan bagian pengembaraan diri, bagian dari pencarian spiritual. Dengan gaya unik dan jujur ala Ifa Hanifah Misbach misalnya, pertanyaan-pertanyaan mendasar spiritual menjadi suatu tutur polos penuh canda. Namun pada saat yang sama sangat bermakna dan mampu menggugah. Tuturnya menbuat kita semua patut mempertanyakan spiritualitas diri masing-masing. Bertanya tentang pencarian kejatian spiritual. Bertanya tentang seberapa luas pengembaraan ruhani telah dilakukan. Bertanya tentang kehausan spiritual untuk terus mencari dan menemukan yang hakiki.

Pandemi bisa jadi juga merupakan ajang untuk mengistirahatkan diri dari rutinitas kantor. Ajang untuk merengkuh kembali tali kasih dan kedekatan antar keluarga. Untuk kembali mendekatkan diri dengan anak dan pasangan serta anggota keluarga lainnya. Untuk mengganti kembali waktu yang selama ini dihabiskan untuk pekerjaan dan rutinitas luar rumah -- yang selama ini tanpa disadari bisa menjadikan siapa pun serasa 'tua di jalan'. Seorang Budhy Munawar Rachman misalnya, bisa begitu berbinar bahagia menceritakan kegiatan sholat bersama anaknya. Budhy menceritakan buncahan kegirangan hati melihat sang putri lancar mengucapkan bacaan sholat. Ia juga menuturkan hari-hari bermakna yang dilakukan bersama keluarga di saat pandemi.

Pandemi juga bisa bermakna peningkatan kesalehan sosial lintas iman. Ini dilakoni seorang Alimatul Qibtiyah. Ia, yang memiliki tempat kos, mengikhlaskan anak-anak kosnya untuk tetap tinggal di kos selama pandemi karena mereka tidak bisa pulang ke daerahnya. Uniknya mereka beragama berbeda dengan profesor muda ini. Alimatul mampu menaungi semua itu. Ia tidak gamang bersikap meski berbeda keyakinan. Bahkan ia memilih berbagi rejeki dengan memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada para penghuni kos, meski, seperti tadi dijelaskan, keyakinan mereka berbeda.

Lain lagi seorang Henny Supolo. Henny yang menggeluti dunia pendidikan begitu trenyuh mendapati kenyataan adanya kesenjangan digital di daerah terpencil di Indonesia. Padahal dalam masa pandemi, yang tidak memungkinkan banyak pertemuan fisik, fasilitas virtual, dalam hal ini internet, menjadi andalan. Namun kesenjangan ini tidak menghentikan semangat Henny untuk tetap menggalakkan upaya-upaya edukasi di masa pandemi.

Dari tutur beberapa sahabat Caknurian ini, terlihat bahwa pandemi yang bersifat global, ternyata memang bermakna unik dan personal bagi masing-masing orang. Dan perlu digarisbawahi bahwa setiap tutur itu, apapun isinya, adalah bermakna dan memberikan pencerahan. 

Kini, giliranmu bercerita...